Sekuntum Duri, berakhir pencarian
Catatan ini bukan tentang bahasa, budaya atau sejarah Terengganu. Ia tentang seorang anak lelaki dari Pasir Panjang yang sering berkunjung ke perpustakaan awam (diurus oleh Perbadanan Perpustakaan Awam Terengganu, PPAT) sekitar 1980 atau 1981 di Kuala Terengganu.
Lelaki muda ini, sewaktu usianya baru 12 atau 13 tahun, bertemu dan membaca (beberapa kali) sebuah novel Indonesia, judulnya Sekuntum Duri.
Tetapi setelah masa berlalu begitu panjang, anak lelaki ini sendiri sudah menempuh pelbagai pengalaman baru, rasa cinta baru dan menempuh alam perbukuan yang baru -- Sekuntum Duri tetap menjadi satu (daripada sedikit) buku yang masih mengesannya sewaktu meningkat remaja itu.
Sesekali ingatan tentang novel itu, tentang jalan cerita remaja yang tragis itu (genre roman) dan nama pengarang novel itu menjadi 'ruang kosong' yang 'mengelirukan' dalam fikirannya. Apatah lagi kepada mereka yang ditanyakan, baik di Kuala Lumpur (selama ini) atau Jakarta (sewaktu awal-awal menjejakkan kaki di sini pada Julai 2004), tidak mengingati lagi wujudnya novel Sekuntum Duri. Apatah lagi untuk membayangkan sebuah filem (yang tidak pernah ditontonnya) dihasilkan daripada novel remaja ini -- tetapi anakmuda Pasir Panjang ini tahu novel itu memang telah difilemkan.
Entah bagaimana, hari ini (28 Mei 2005) tiba-tiba semua misteri di memori ingatan anak lelaki itu -- yakni, saya sendiri! -- muncul menjadi kenyataan hari ini, saat ini! Alangkah leganya -- memang ternyata ingatannya tidak pernah salah tentang pengalamannya membaca Sekuntum Duri.
Berikut catatan tentang novel dan skrip filem yang dihasilkan oleh pengarangnya, Noorca Marendra Massardi:
[mula] Noorca pernah hidup sebagai gelandangan. Sambil belajar di SMP, anak kelima dari sebelas bersaudara ini membantu ibunya berjualan pisang dan singkong goreng. Lantas bersama adik-adiknya, ia menjadi penjaja koran, majalah, dan buku.
Tamat SMP, ia belajar sendiri, meminati drama, dan berambisi tenar. Untuk menonton Menunggu Godot karya Rendra, dihabiskannya gajinya sebulan sebagai penjual es mambo dan penjaga toko kain di Tanah Abang. Ia keluar dari pekerjaannya 1970; ''Lantas menggelandang di Jalan Kiai Haji Wahid Hasyim,'' ceritanya.
Berpangkal di Gelanggang Remaja Bulungan, Noorca mulai mempublikasikan karyanya Bhagawad Gita (1972), Kertanegara (1973), Perjalanan Kehilangan (1974), Kuda-kuda (1975), dan Terbit Bulan Tenggelam Bulan (1976). Novel/skenario film Sekuntum Duri, dan roman Mereka Berdua, diterbitkan PT Gramedia, Jakarta, 1979 dan 1981. Drama Growong diperbanyaknya sendiri, 1982. Pada tahun itu, Cypress menerbitkan naskah sandiwara anak-anaknya, Tinton, dan Mencari Taman.
Atas permintaan Ny. Roesni Zulharmans, istri Ketua PWI Pusat, Noorca mengajar drama di SMA Negeri VII Jakarta, 1975. Di sini pula ia berkenalan, kemudian berpacaran dengan Rayni, yang lantas berpisah karena dikirim orang tuanya untuk belajar ke Paris, 1976. Pada tahun itu juga, ''Tanpa tahu oui atau non,'' katanya, ''saya menyusulnya.'' Di sana mereka menikah, 1977.
Selama di Paris, Noorca sempat belajar di Ecole Superieur du Journalisme, dan menjadi koresponden majalah Tempo. Ia ditugasi dan berhasil mewawancarai sejumlah tokoh dalam pengasingan, seperti Ayatullah Khomeini, Pangeran Sihanouk, Bani Sadr, dan pemimpin mujahiddin Masoud Radjawi.
Setahun sesudah kembali di Indonesia, ia bergabung dengan harian Kompas, 1982. Lepas dari Kompas, ia memimpin Jakarta Jakarta, sejak 1985. Noorca, saudara kembar Yudhistira A. N. M. M. Massardi, ini penggemar kempo yang kini suka berenang, menggenjot sepeda argo, dan boling. [tamat]
Ternyata, jika disemak kembali perjalan hidup pengarangnya, isi yang tertuang di dalam novel Sekuntum Duri berdasarkan pengalaman peribadinya (dan isterinya) sendiri -- munasabah pula ada 'getaran' emosi sewaktu membacanya (tetapi apa erti 'getaran' kepada remaja berusia 12 atau 13 tahun itu?).
Dan ternyata juga, Noorca Marendra Massardi dekat dengan Tempo dan Ayu Utami (sebab novelis-aktivis ini pernah memiliki kolumnya di sini!). Ayu dekat dengan teman-teman saya dan kini menulis kata pengantar buku saya, Patah Balek: Catatan terpenting reformasi. Bagaimana saya boleh gagal mengesan ini semua?
Sedikit lagi maklumat tentang pengarang pujaan dan misteri saya ini:
Nama: NOORCA MARENDRA MASSARDI
Lahir: Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954
Agama: Islam
Pendidikan :
- SDN I, Subang (1964)
- SMPN I, Subang/Taman Dewasa, Jetis (1968)
- Ecole Superieure du Journalisme, Paris, Prancis (1979-1981)
Karir:
- Guru SMA Negeri VII, Jakarta (1975-1976)
- Redaktur majalah Lelaki (1976)
- Koresponden majalah Tempo di Paris (1978-1981)
- Wartawan harian Kompas (1982-sekarang)
- Redaktur pelaksana majalah Jakarta-Jakarta (1985-sekarang)
Kegiatan Lain:
wakil ketua Persatuan Pelajar Indonesia di Paris (1979-1980)
Karya tulis penting (antara lain):
- Sekuntum Duri (novel/skenario film), Gramedia 1979
- Mereka Berdua (roman), Gramedia, 1982
- Mencari Taman (sandiwara kanak-kanak) Cypress, 1985
Alamat Rumah:
Jalan Bank IV/4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Alamat Kantor:
Jalan Palmerah Selatan 3, Jakarta Pusat Telp: 5483008
Lelaki muda ini, sewaktu usianya baru 12 atau 13 tahun, bertemu dan membaca (beberapa kali) sebuah novel Indonesia, judulnya Sekuntum Duri.
Tetapi setelah masa berlalu begitu panjang, anak lelaki ini sendiri sudah menempuh pelbagai pengalaman baru, rasa cinta baru dan menempuh alam perbukuan yang baru -- Sekuntum Duri tetap menjadi satu (daripada sedikit) buku yang masih mengesannya sewaktu meningkat remaja itu.
Sesekali ingatan tentang novel itu, tentang jalan cerita remaja yang tragis itu (genre roman) dan nama pengarang novel itu menjadi 'ruang kosong' yang 'mengelirukan' dalam fikirannya. Apatah lagi kepada mereka yang ditanyakan, baik di Kuala Lumpur (selama ini) atau Jakarta (sewaktu awal-awal menjejakkan kaki di sini pada Julai 2004), tidak mengingati lagi wujudnya novel Sekuntum Duri. Apatah lagi untuk membayangkan sebuah filem (yang tidak pernah ditontonnya) dihasilkan daripada novel remaja ini -- tetapi anakmuda Pasir Panjang ini tahu novel itu memang telah difilemkan.
Entah bagaimana, hari ini (28 Mei 2005) tiba-tiba semua misteri di memori ingatan anak lelaki itu -- yakni, saya sendiri! -- muncul menjadi kenyataan hari ini, saat ini! Alangkah leganya -- memang ternyata ingatannya tidak pernah salah tentang pengalamannya membaca Sekuntum Duri.
Berikut catatan tentang novel dan skrip filem yang dihasilkan oleh pengarangnya, Noorca Marendra Massardi:
[mula] Noorca pernah hidup sebagai gelandangan. Sambil belajar di SMP, anak kelima dari sebelas bersaudara ini membantu ibunya berjualan pisang dan singkong goreng. Lantas bersama adik-adiknya, ia menjadi penjaja koran, majalah, dan buku.
Tamat SMP, ia belajar sendiri, meminati drama, dan berambisi tenar. Untuk menonton Menunggu Godot karya Rendra, dihabiskannya gajinya sebulan sebagai penjual es mambo dan penjaga toko kain di Tanah Abang. Ia keluar dari pekerjaannya 1970; ''Lantas menggelandang di Jalan Kiai Haji Wahid Hasyim,'' ceritanya.
Berpangkal di Gelanggang Remaja Bulungan, Noorca mulai mempublikasikan karyanya Bhagawad Gita (1972), Kertanegara (1973), Perjalanan Kehilangan (1974), Kuda-kuda (1975), dan Terbit Bulan Tenggelam Bulan (1976). Novel/skenario film Sekuntum Duri, dan roman Mereka Berdua, diterbitkan PT Gramedia, Jakarta, 1979 dan 1981. Drama Growong diperbanyaknya sendiri, 1982. Pada tahun itu, Cypress menerbitkan naskah sandiwara anak-anaknya, Tinton, dan Mencari Taman.
Atas permintaan Ny. Roesni Zulharmans, istri Ketua PWI Pusat, Noorca mengajar drama di SMA Negeri VII Jakarta, 1975. Di sini pula ia berkenalan, kemudian berpacaran dengan Rayni, yang lantas berpisah karena dikirim orang tuanya untuk belajar ke Paris, 1976. Pada tahun itu juga, ''Tanpa tahu oui atau non,'' katanya, ''saya menyusulnya.'' Di sana mereka menikah, 1977.
Selama di Paris, Noorca sempat belajar di Ecole Superieur du Journalisme, dan menjadi koresponden majalah Tempo. Ia ditugasi dan berhasil mewawancarai sejumlah tokoh dalam pengasingan, seperti Ayatullah Khomeini, Pangeran Sihanouk, Bani Sadr, dan pemimpin mujahiddin Masoud Radjawi.
Setahun sesudah kembali di Indonesia, ia bergabung dengan harian Kompas, 1982. Lepas dari Kompas, ia memimpin Jakarta Jakarta, sejak 1985. Noorca, saudara kembar Yudhistira A. N. M. M. Massardi, ini penggemar kempo yang kini suka berenang, menggenjot sepeda argo, dan boling. [tamat]
Ternyata, jika disemak kembali perjalan hidup pengarangnya, isi yang tertuang di dalam novel Sekuntum Duri berdasarkan pengalaman peribadinya (dan isterinya) sendiri -- munasabah pula ada 'getaran' emosi sewaktu membacanya (tetapi apa erti 'getaran' kepada remaja berusia 12 atau 13 tahun itu?).
Dan ternyata juga, Noorca Marendra Massardi dekat dengan Tempo dan Ayu Utami (sebab novelis-aktivis ini pernah memiliki kolumnya di sini!). Ayu dekat dengan teman-teman saya dan kini menulis kata pengantar buku saya, Patah Balek: Catatan terpenting reformasi. Bagaimana saya boleh gagal mengesan ini semua?
Sedikit lagi maklumat tentang pengarang pujaan dan misteri saya ini:
Nama: NOORCA MARENDRA MASSARDI
Lahir: Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954
Agama: Islam
Pendidikan :
- SDN I, Subang (1964)
- SMPN I, Subang/Taman Dewasa, Jetis (1968)
- Ecole Superieure du Journalisme, Paris, Prancis (1979-1981)
Karir:
- Guru SMA Negeri VII, Jakarta (1975-1976)
- Redaktur majalah Lelaki (1976)
- Koresponden majalah Tempo di Paris (1978-1981)
- Wartawan harian Kompas (1982-sekarang)
- Redaktur pelaksana majalah Jakarta-Jakarta (1985-sekarang)
Kegiatan Lain:
wakil ketua Persatuan Pelajar Indonesia di Paris (1979-1980)
Karya tulis penting (antara lain):
- Sekuntum Duri (novel/skenario film), Gramedia 1979
- Mereka Berdua (roman), Gramedia, 1982
- Mencari Taman (sandiwara kanak-kanak) Cypress, 1985
Alamat Rumah:
Jalan Bank IV/4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Alamat Kantor:
Jalan Palmerah Selatan 3, Jakarta Pusat Telp: 5483008